Translate

Rabu, 30 Januari 2013

Tokoh Kang Darso Urang Sunda

Hendarso atau lebih dikenal dengan Kang Darso (lahir di Bandung, Jawa Barat, 12 Agustus 1945 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 12 September 2011 pada umur 66 tahun)adalah penyanyi pop Sunda Indonesia. ia mempunyai seorang istri pertama bernama Epong (almarhum), setelah istrinya meninggal kemudian menikah dengan Lina Marlina.


Darso memulai karir sebagai pemain bas pada grup musik Nada Karya dan Nada Kencana. Sempat bergabung dengan band milik Pusat Persenjataan Kavaleri Bandung. Ia berhenti terkena imbas peritiwa G 30 S/PKI. Pada tahun 1968 beliau memulai lagi karirnya lagi bersama sang kakak Uko Hendarso menggarap musik dengan instrumen utama yaitu "calung" salah satu lagu yang diminati waktu itu "kiamat'. Atas arahan S. Hidayat Darso diajak untuk tampil pada RRI bersama grup Baskara Saba Desa. Di bawah Asmara Record memulai rekaman di atas pita kaset. beberapa lagu yang terkenal yaitu "kembang tanjung", "cangkurileung", dan "panineungan".

Pada tahun 90-an nama Darso semakin populer setelah TVRI sering menampilkannya. Darso juga mulai menggunakan jenis instrumen lain seperti terompet dan organ jenis musik yang dirambah selain pop sunda juga dangdut. Lagu-lagu yang terkenal pada masa itu hingga kini yaitu "randa geulis", "maribaya", "dina amparan sajadah", "kabogoh jauh".

Pada tahun 2005 ia mendapat penghargaan dari Gubernur Jabar Danny Setiawan berupa Anugrah Musik Jabar 2005 dan pada tahun 2009 ia mendapat juga penghargaan dari Walikota Bandung Dada Rosada berupa Anugrah Budaya Kota Bandung 2009. Ia meninggal dunia pada Senin, 12 September 2011. Darso diduga meninggal dunia dalam perjalanan ke Rumah Sakit Umum Daerah Soreang, Jawa Barat, siang tadi. Penyebab kematiannya belum diketahui.

Seniman Sunda yang nyeleneh, nyentrik dan kocak. Saya jadi lebih mengenalnya ketika ia menyanyikan lagu Cucu Deui, lagu hasil kolaborasi antara musik tradisional (calung) dan modern (pop).

Tak lupa, kreativitas dan aksinya dalam album Kabogoh Jauh mengukuhkan dia sebagai “pendekar seni Sunda” yang albumnya diburu banyak orang di pedesaan maupun di perkotaan.

Darso adalah pribadi yang unik, percaya diri, cuek, penuh semangat, energik, dikenal orang akrab dengan gaya khas rambut kelimis dibiarkan terurai mengenakan kacamata tebal hitam, lengkap dengan topi dan jas/kemeja. Kreativitas dan inovasinya dalam bermusik patut diacungi dua jempol, karena kiprahnya selama ini telah turut banyak mewarnai industri musik di tanah air, khususnya pop Sunda.

Kreativitasnya menghidupkan musik pop Sunda lewat perkawinan dua genre musik (tradisional dan modern) memang layak diganjar pelbagai penghargaan. Nah, bagi yang ngefans sama lagu-lagu Kang Darso, silakan download.



Perhatian pemerintah

Di panggung, Darso tampil beda, seperti memakai setelan jas. Bila mengikuti pakem, pagelaran calung harus menggunakan baju pangsi dan celana kampret. Namun, ia tak peduli. Dia tak pernah mengubah penampilannya.

Ia bahkan pernah memadupadankan baju dan celana hitam yang dilukis tokoh kartun Mickey Mouse dengan sarung. Pada kesempatan lain, ia tampil percaya diri dengan jas bermotif tribal dan membuka panggung sambil menunggang kuda.

Penampilan fenomenalnya adalah saat dia muncul mirip Michael Jackson dengan rambut gondrong, kacamata hitam, dan bertopi. Ia juga kerap menjulurkan lidah kala menyanyi. Banyak orang berpendapat, gaya Darso itu ”kampungan”. Tetapi, gaya itulah yang mengangkat namanya.

”Ah teuing mah. Eta mah barudak nu ngomong. Urang ngarasa ngeunah we siga kitu mah (Ah tak tahu. Itu penonton yang bilang. Saya hanya merasa nyaman dandan seperti itu),” ujarnya.

Meski namanya relatif populer di kalangan masyarakat Jabar, Darso tak mau berubah. Ia ingin selalu dekat dengan masyarakat. Itu dibuktikan saat dia membantu menjajakan buah di Pasar Baru hingga membantu penjaja jagung di kawasan Pasteur.

Darso tetaplah pribadi yang tak suka formalitas. Ia tak mau dikawal dan selalu melayani permintaan foto penggemarnya. Sikap rendah hatinya itu membuat dia juga disebut Pak Haji meski Darso belum menunaikan ibadah haji.

”Nyawa aing siganamah tereh beak lamun difotoan wae. Tapi sakali deu urang mah resep mun ningali nu lain senang (Nyawa saya cepat habis kalau difoto terus.... Tetapi, sekali lagi, saya ikut bahagia kalau melihat orang lain senang),” ujarnya.

Di balik gaya yang nyeleneh, Darso tetap menyimpan harapan. Salah satunya, ia prihatin dengan perhatian pemerintah terhadap musik tradisional. Pemerintah hanya bicara soal melestarikan kesenian daerah, tetapi tak banyak hal yang dilakukan untuk mewujudkannya.

Darso juga berharap seniman calung atau pop Sunda yang berusia muda tak berhenti hanya meniru gayanya. Sebaiknya mereka juga bisa menemukan jati diri dan mensyukuri apa yang telah didapatkan. Dia tetap percaya, bila kita melakukan pekerjaan itu dengan hati, termasuk menyanyi, pasti akan menuai sukses.

”Kata orang, suara saya bagus dan harus ditiru. Tetapi, semua ini bukan milik saya, melainkan milik Tuhan. Kalau mau, mungkin sekarang suara ini bisa dibuat-Nya rusak,” kata Darso mengingatkan.



Sumber :